Jan 10, 2009

Global Positioning System


Global Positioning System (GPS) is the only satellite navigation system that works properly. This system uses 24 satellites that send signals to Earth Microwave. This signal is received by the recipient of the tool on the surface, and is used to determine position, speed, direction, and time. A system similar to the GPS anatara other Russian GLONASS, Galileo the European Union, India IRNSS.

This system was developed by the Department of Defense the United States, with the full name is NAVSTAR GPS (common mistake is that the NAVSTAR is an acronym, this is wrong, NAVSTAR is the name given by John Walsh, an important policy determination in the GPS). This collection of satellite managed by the 50th Space Wing Air Force United States. This system costs about U.S. $ 750 million per year, including the replacement of older satellites, and research and development.

Use Global Positioning System (GPS)
Global Positioning System can work on the use of:

Military
GPS is used for war purposes, such as guiding the direction bomb, or know where troops are. In this way we can know which friend is the opponent to avoid the wrong target, or menetukan troop movements.

Navigation
GPS is also used as many instruments such as compass navigation. Several types of vehicles have been equipped with GPS tools for nivigasi, by adding a map, then can be used to guide driver, so the driver can find out where the lines should be chosen to achieve the desired goal.

Geographical Information System
For GIS, GPS is often also involved in creating the map, such as measuring the distance the border, or as a reference measurement.

Vehicle tracking system
Other uses GPS tracking is as vehicles, with car owners bamtuan GPS / fleet managers can know where there is only kendaraannya / asset movement is at this time.

The earthquake
Even at this time, the GPS with high accuracy can be used to monitor the movement of land, the only ordenya mm per year. Monitoring the movement of land is useful to estimate the occurrence of the earthquake, the movement vulkanik or tektonik

Jan 9, 2009

Side effects Computer Technology

If you feel gaptek computer problem, do not worry ....

Jim Cartlon, a Wall Street Journal reporter, recently collecting complaints from consumers of the United States computer. And their complaint was far more "idiot" than we think. Following the passage of the super keluhan2 & incompetent "super moron" is:

1. Compaq was considering to change the command "Press ANY Key" to "Press ENTER Key" because many phone or device that situation ask the "ANY" on the keyboard.

2. AST Technical Support customers receive the report as having difficulties with the mouse. When Techinal Support visit, they find the mouse can not be used because it is still ... terbungkus neatly in plastic. Users (a) afraid of a mouse (mouse) so that it does not dare to remove it from the plastic. Fear attacked the computer mouse?

3. In the 1980s, when the disk is still large, Compaq technician received a consumer complaint that disketnya not legible by the computer-disk drives. After the investigation, appeared before the consumer to enter the disk in the typewriter and the labels that tertempel on the diskette.

4. A complaint from consumers who said AST floppy virus that infected them difficult to clean. AST officials ask people to send copies of the infected floppy disks is to learn. Several days later, officers received a copy of AST diskette from the consumer.

5. DELL A consumer complained that he could not send a fax via the computer. Once focused for 40 minutes by telephone, the official DELL if consumers find that trying to send via the computer in a way that will hold the paper in front of the fax in the monitor, while pressing the "SEND" on the screen.

6. A DELL other consumers complain that they already use the keyboard does not work since cleaned. When asked how to clean the keyboard, he explained, "I wash and scrub all parts of the keyboard with soap, and membilasnya with water, menjemurnya ago. "

7. A consumer DELL angry because most can not turn a new computer dibelinya. "All have been installed properly. But every time I press foot pedal, nothing happens. "After the investigation was" foot pedal "is a person that is: the mouse.

8. A more consumer DELL angry because most new computers do not flame. He explains all have been installed correctly, and when he waited for 20 minutes, nothing happens on the computer. When engineers DELL ask whether "power switch" has been switched, he asked back, "What Power switch?"

9. Here are the questions and answers between the Novell NetWire with a consumer:
The caller: Hello, with the Tech Support?
Novell: Yes, can be assisted?
Callers: cup mat on my PC broken. What can I replace it possible?
Novell: cup mat? Whether it is a gift when you buy a computer?
The caller: No. Cup mat is already on my computer. And when I put my glasses on top of it, mat is broken. I know that, in the front of the mat that have any posts "CD-ROM, 16X."
(At that time also, Novell officials immediately shut off the phone and laughter. ..)


Jan 7, 2009

Celurit Mas

Bila musim melabuh hujan tak turun, kubasahi kau dengan denyutku.
Bila dadamu kerontang, kubajak kau dengan tanduk logamku.
Di atas bukit garam kunyalakan otakku.
Lantaran aku tahu, akulah anak sulung yang sekaligus anak bungsumu.
Aku berani mengejar ombak. Aku terbang memeluk bulan.
Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku.
Di bubung langit kuucapkan sumpah.
Madura, akulah darahmu.



Oleh D. Zawawi Imron



Celurit dan Memudarnya Makna Carok

Ditulis pada Mei 19, 2008 oleh Thomy di sini
Liputan6.com, Madura: Celurit memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Madura, Jawa Timur. Senjata tajam yang berbentuk melengkung ini begitu melegenda. Sejak dahulu kala hingga sekarang, hampir setiap orang di Tanah Air mengenal senjata khas etnis Madura ini. Saking populernya, celurit kerap diidentikkan dengan berbagai tindak kriminal. Bahkan celurit juga digunakan oleh massa saat terjadi kerusuhan maupun demonstrasi di pelosok Nusantara untuk menakuti lawannya.

Boleh jadi, begitu mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang bakal terbayang alam yang tandus, wajah yang keras dan perilaku menakutkan. Kesan itu seolah menjadi benar tatkala muncul kasus-kasus kekerasan yang menggunakan celurit dengan pelaku utamanya orang Madura.

Kendati demikian tak semua orang mengetahui sejarah dan proses sebuah celurit itu dibuat hingga dikenal luas. Di tempat asalnya, celurit pada mulanya hanyalah sebuah arit. Petani pun kerap menggunakan arit untuk menyabit rumput di ladang dan membuat pagar rumah. Dalam perkembangannya, arit itu diubah menjadi alat beladiri yang digunakan oleh rakyat jelata ketika menghadapi musuh.


Demikian pula pendapat D. Zawawi Imron. Seniman sekaligus budayawan Madura ini menuturkan, kalangan rakyat kecil memperlakukan celurit sebagai senjata tajam biasa. Dengan kata lain, celurit itu bukan dianggap senjata sakti.

Kini, masyarakat Madura masih memandang celurit sebagai senjata yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Tak mengherankan, bila pusat kerajinan senjata tajam itu banyak bertebaran di Pulau Madura.

Tersebutlah sebuah desa kecil bernama Peterongan. Kampung ini terletak di Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kabupaten Bangkalan. Di sana, sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit. Keahlian mereka adalah warisan leluhur sejak ratusan tahun lampau.

Tak salah memang, bila desa ini menjadi kondang. Maklum, celurit buatan para perajin di Desa Peterongan itu dikenal kokoh dan halus pengerjaannya. Seorang di antara mereka adalah Salamun. Siang itu, lelaki berusia 54 tahun ini menemui Sunarto utusan dari sebuah padepokan silat terkenal di Kecamatan Kamal, Bangkalan.

Sunarto pun meminta Salamun mengerjakan sebilah celurit berjenis bulu ayam. Bagi Salamun, membuat celurit adalah bagian dari napas kehidupannya. Celurit tak hanya sekadar dimaknai sebagai benda tajam yang digunakan untuk melukai orang. Akan tetapi celurit adalah karya seni yang mesti dipertahankan dari warisan leluhurnya.

Pagi itu, Salamun didampingi putranya berbelanja membeli besi tua yang berada di sudut Desa Peterongan. Di antara tumpukan besi itu, Salamun memilih besi bekas rel kereta api dan per bekas jip sebagai bahan baku membuat celurit pesanan Sunarto.

Besi pilihan itu lantas dibawa menuju bengkel pandai besi miliknya yang berada tak jauh dari halaman rumahnya. Batangan besi tersebut kemudian dibelah dengan ditempa berkali-kali untuk mendapatkan lempengannya. Setelah memperoleh lempengan yang diinginkan, besi pipih itu lantas dipanaskan hingga mencapai titik derajat tertentu.

Logam yang telah membara itu lalu ditempa berulang kali sampai membentuk lengkungan celurit yang diinginkan. Dengan dibantu ketiga anaknya, Salamun membuat celurit pesanan padepokan silat tersebut dengan penuh ketelitian. Sebab dia memandang celurit harus mencirikan sebuah karya seni. Tak sekadar sepotong besi yang ditempa berkali kali, melainkan harus memiliki arti dan makna bagi yang memilikinya.

Lantaran itulah, sebelum mengerjakan sebilah celurit, Salamun biasa berpuasa terlebih dahulu. Bahkan saban tahun, tepatnya pada bulan Maulid, Salamun melakukan ritual kecil di bengkelnya. Menurut Salamun, ritual ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga. Sesajen itu kemudian didoakan di musala. Baru setelah itu, air bunga disiramkan ke bantalan tempat menempa besi. “Kalau ada yang melanggar (mengganggu), ia akan mendapatkan musibah sakit-sakitan,” ucap Salamun.

Hingga kini, tombuk atau bantalan menempa besi pantang dilangkahi terlebih diduduki oleh orang. Keahlian pak Salamun membuat celurit tak bisa dilepaskan dari warisan orang tua dan leluhur kakeknya. Semenjak kecil dirinya sudah dilibatkan cara membuat celurit yang benar.

Salamun mengungkapkan, buat mengerjakan sebuah celurit besar, dibutuhkan waktu sekitar dua hingga empat hari. Adapun harga celurit tergantung dari bahan dan ukuran motifnya. Celurit paling murah dilepas seharga Rp 100.000.

Pria itu termasuk produktif. Betapa tidak, sudah ribuan celurit yang dihasilkan dari tempaan Salamun. Namun kini, Salamun lebih berhati-hati menerima pesanan celurit. Dia beralasan, banyak orang yang tak memahami filosofi celurit. Minimnya pemahaman inilah yang mengakibatkan celurit lebih banyak digunakan untuk tindak kejahatan.

Sebaliknya, bagi yang mengerti, celurit itu tentunya digunakan lebih berhati-hati. Pendapat itu memang beralasan. Soalnya celurit juga diartikan sebagai lambang ksatria. Dan, bukan malah untuk sembarang menyabet orang.

Di Madura, banyak dijumpai perguruan pencak silat yang mengajarkan cara menggunakan celurit. Satu di antaranya Padepokan Pencak Silat Joko Tole, pimpinan Hasanuddin Buchori. Perguruan ini mengambil nama dari seorang ksatria asal Sumenep. Kala itu Madura dibagi menjadi dua wilayah kerajaan besar, yaitu Madura Timur di Sumenep dan Madura Barat di Arosbaya Bangkalan. Adapun peninggalan Kerajaan Madura Barat masih terlihat dalam situs makam-makam kuno di Arosbaya.

Dan hari ini, perguruan yang banyak mengorbitkan atlet pencak silat nasional itu secara rutin berlatih meneruskan cita-cita dan semangat leluhurnya, Joko Tole. Padepokan Silat Joko Tole selama ini cukup kesohor di kalangan pencak silat di Tanah Air. Terutama dalam mengajarkan penggunaan senjata tradisional celurit.

Walaupun hanya sebuah benda mati, celurit memiliki beragam cara penggunaannya. Ini tergantung dari niat pemakainya. Di Perguruan Joko Tole, misalnya. Celurit tidak sekadar diajarkan untuk melumpuhkan lawan. Namun seorang pemain silat harus memiliki batin yang bersih dengan berlandaskan agama.

Sebagian masyarakat menganggap celurit tak bisa dipisahkan dari tradisi carok yang dianut oleh sebagian orang Madura. Sayang, hingga kini, belum satu pun peneliti yang bisa menjelaskan awal mula carok menjadi bagian hidup orang Madura. Yang terang, pada dasarnya carok biasa dilakukan ketika seseorang merasa dipermalukan dan harga dirinya dilecehkan. Maka, penyelesaian yang terhormat adalah dengan berduel secara ksatria satu lawan satu.

Latar belakang perkelahian seperti itu diakui Zawawi Imron. Budayawan ini menerangkan, ada adigium Madura yang mengatakan: Dibandingkan dengan putih mata lebih bagus putih tulang. Artinya, daripada hidup malu lebih baik mati. Dengan kata lain, ketika orang Madura dipermalukan, maka ia berbuat pembalasan dengan melakukan carok terhadap yang menghinanya itu.

Namun dalam perkembangannya, arti carok sendiri menjadi tidak jelas. Terutama bila dihubungkan dengan nyelep, yakni menyerang musuh dari belakang atau ketika lawan sedang lengah. Dan, hal itu semakin tidak jelas manakala banyak kasus kekerasan yang bermotifkan sosial ekonomi.

Jadi, untuk mengubah stereotip itu, orang Madura harus melawan kebodohan dan ketertinggalan. Ini seperti kerinduan budayawan sekaligus penyair Madura Zawawi Imron dalam puisi berjudul Celurit Emas:
Bila musim melabuh hujan tak turun, kubasahi kau dengan denyutku. Bila dadamu kerontang, kubajak kau dengan tanduk logamku. Di atas bukit garam kunyalakan otakku. Lantaran aku tahu, akulah anak sulung yang sekaligus anak bungsumu. Aku berani mengejar ombak. Aku terbang memeluk bulan. Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku. Di bubung langit kuucapkan sumpah. Madura, akulah darahmu
.(ANS/Soedjatmoko dan Bambang Triono)


Menelusuri Sejarah Carok dan Celurit di Madura


Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).
PADA zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata. Lantas apa hubungannya dengan carok?Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Bahkan antarpenduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.

Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu. Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.
Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya, Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.
Disebabkan dengan kondisi yang semacam itu, akhirnya masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit. Padahal Carok itu sama halnya dengan perkelahian yang dilakukan oleh orang-orang luar madura, yang membedakan hanya istilahnya saja. buktinya kekerasan juga terjadi di mana-mana hanya caranya saja yang berbeda.jadi tidaklah benar kalau orang -orang beranggapan bahwa semua orang madura suka bercarok, suka kekerasan dan sok jagoan, karena tidak semua masyarakat Madura mempunyai sikap demikian. Masyarakat Madura juga memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tidak menggunakan senjata celurit, dan sebagainya.
Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.

Sejarah Kabupaten Pamekasan


Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Nama Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke 16, ketika Ronggo Sukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari kraton Labangan Daja ke kraton Mandilaras. Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan pusat pemerintahan sehinga terjadi perubahan nama wilayah ini.

Begitu juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan dan bagaimana keberadaannya. Munculnya sejarah Pemerintah Lokal Pamekasan, diperkirakan baru diketahui sejak pertengahan abad ke lima belas (15) berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sumoyo yang mulai merintis Pemerintahan Lokal di daerah Proppo atau Parupuk Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan. Diperkirakan Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura dan Sumenep, yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara.

Jika pemerintahan lokal Pamekasan lahir pada abad 15, tidak dapat disangkal bahwa Kabupaten ini lahir pada zaman kegelapan Majapahit yaitu pada saat daerah-daerah pesisir di wilayah kekuasaan Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan sendiri. Berkaitan dengan sejarah kegelapan Majapahit tentu tidak bias dipungkiri tentang kemiskinan data sejarah karena di Majapahit sendiri dalam penataan untuk mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya sangat padat kegiatan dengan luas wilayah yang sangat besar.

Saat itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu Prapanca dan Mpu Tantular tidak banyak menghasilkan karya sastra, sedangkan kehidupan masyarakat Madura sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulis Graaf (2001) menulis bahwa orang Madura tidak mempunyai sejarah tertulis dalam bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-Islam.

Tulisan- tulisan yang kemudian mulai diperkenalkan sejarah pemerintahan Pamekasan ini pada awalnya lebih banyak ditulis oleh penulis Belanda sehingga banyak menggunakan bahasa Belanda kemudian mulai diterjemahkan atau ditulils kembali oleh sejarawan Madura, seperti Zainal Fatah ataupun Abdurrahman. Memang masih ada bukti-bukti tertulis lainnya yang berkembang di masyarakat, seperti tulisan pada daun-daun lontar atau layang Madura, namun demikian tulisan pada layang inipun lebih banyak menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan sahabatnya, termasuk juga ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber pelajaran agama bagi masyarakat luas.

Masa pencerahan sejarah lokal Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh kedua abad ke-16, ketika pengaruh Mataram mulai masuk di Madura, terlebih lagi ketika Ronggo Sukowati mulai mereformasi pemerintahan dan pembangunan di Wilayahnya. Bahkan, raja ini disebut-sebut sebagai raja pertama di Pamekasan yang secara terang-terangan mulai mengembangkan Agama Islam di kraton dan rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan pembuatan jalan se jimat ,yaitu jalan-jalan di alun-alun kota Pamekasan dan mendirikan masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian, sampai saat ini masih belum bisa diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti pada beberapa situs peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan pada saat pertama kali ia memerintah Pamekasan.

Bahkan zaman Pemerintahan Ronggo Sukowati mulai dikenal sejak berkembangnya legenda Kyai Joko Piturun, pusaka andalan Ronggo Sukowati yang diceritakan mampu membunuh Pangeran Lemah Duwur dari Arosbaya melalui peristiwa mimpi. Padahal temuan ini sangat penting karena dianggap memiliki nilai sejarah untuk menentukan hari jadi kota Pamekasan.

Terungkapnya sejarah Pemerintahan di Pamekasan semakin ada titik terang setelah berhasilnya invasi Mataram ke Madura dan merintis pemerintahan lokal di bawah pengawasan Mataram. Hal ini dikisahkan dalam beberapa karya tulis seperti Babad Mataram dan Sejarah Dalem serta telah adanya beberapa penelitian sejarah oleh sarjana Barat yang lebih banyak dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama, khususnya perkembangan Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti Graaf dan TH. Pigland tentang kerajaan Islam pertama di Jawa dan Banda tentang Matahari Terbit dan Bulan Sabit.