Brahmanto Anindito
Hasil riset The National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) menyatakan, kondom laki-laki kalau digunakan dengan benar dan konsisten mampu membendung HIV sebanyak 80-95%. Lumayan. Tapi, “Kemana yang 15-20%?” tanya Ani, siswa di salah satu SMK di Surabaya, lugu.
Tak bisa dipungkiri, perilaku seks serampangan anak muda (dan dalam faktanya anak tua juga) jaman sekarang sungguh rentan terhadap HIV, virus penyebab AIDS. Di kantor saya saja beberapa orang tak bosan-bosannya merekomendasikan saya “begitu”. Kurang kerjaan banget. “Senjata yang nggak pernah dipakai bisa-bisa berkarat lho,” begitu dalilnya. Huh!
Kalau diterangkan dengan sudut pandang agama, percuma, karena kehidupan teman-teman saya itu sepertinya jauuuuh dari norma agama. Lantas apa jawaban saya? Terpaksa klise: Seks bebas adalah salah satu tertuduh utama penyebaran virus penyebab AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) ini. Bagaimana bisa? Ya bisa saja. Sekalipun kita sudah memastikan pasangan-pasangan kita orang baik-baik, higienis, jawabannya tetap: Ya bisa saja!
Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga.
Kita lihat flashdisk saja. Apa yang terjadi andai kita menancapkannya serampangan? Di warnet A, rental B, komputer si C, laptop si D. Dan bila hendak mencetak file-file foto, kita colok lagi flashdisk itu ke tempat jasa cuci-cetak digital. Meskipun pemiliknya ngotot mengaku harddisk mereka bersih dari virus laknat dan suci dari trojan, kira-kira, bagaimana nasib flashdisk itu? Happy ending-kah?
Peluang terjangkit virus tentu jauh lebih besar daripada flash disk yang dicobloskan hanya ke sejumlah kecil komputer yang terjamin (lebih bagus lagi kalau hanya ke komputer sendiri).
Tidak semua virus ada antinya. Memang, ini cuma masalah waktu. Buktinya, dulu virus komputer Kangen begitu ditakuti orang. Sekarang? Enteng! Virus Flu Burung pun sempat menjadi momok. Orang yang terinfeksi pasti mati, katanya. Sekarang? Asal sang suspect cepat dideteksi, cepat dilaporkan, Flu Burung tak lagi identik dengan malaikat maut.
Itu dia! Kata kuncinya “cepat dideteksi, cepat dilaporkan”. Masalahnya, begitu virus telah merasuk tubuh, kita tak pernah tahu berapa waktu yang tersisa untuk proses penyembuhan sebelum daya rusak virus akhirnya menamatkan episode hidup kita. Ingat, kebanyakan orang yang terinfeksi HIV tidak pernah menyadarinya sampai 5-10 tahun.
Seberapapun canggihnya dunia kedokteran kita, saya yakin, mencegah selalu lebih baik dari mengobati. Lebih baik, artinya: Lebih murah, lebih asyik, lebih bebas, lebih tidak membuang waktu, dsb. Kendati belum ada obat penyembuhnya, HIV/AIDS tentu bisa dicegah, asal tahu ilmunya. Untuk orang-orang yang sudah tak mampu membendung syahwat, salah satu langkah preventif adalah menyarungi sang “pusaka” dengan kondom sebelum berperang.
Kondom telah terbukti mujarab sejak beratus-ratus tahun silam. Dimulai dengan bangsa Mesir yang memakainya sekitar satu milenium sebelum Masehi. Lantas benda ini, dalam bentuk yang primitif, bergeser ke Eropa. Pada tahun 100-200, lewat lukisan-lukisan di gua Combrelles, terlihat orang Prancis saat itu sudah berkondom ria.
Di abad 16, untuk pertama kalinya pencobaan alat pencegah penyakit berupa kondom dipublikasikan di Italia. Ketika itu Gabrielle Fallopius menguji sarung kelamin berbahan linen terhadap 1.100 pria. Eh, ternyata, tak satu pun dari mereka terinfeksi sifilis. Bahkan ada fungsi tambahan: Kondom kemudian dikenal pula sebagai alat pencegah kehamilan.
Lalu pada abad 18, pelapis kemaluan ini coba dibuat dari usus binatang. Lebih nyaman. Tapi sekaligus lebih mahal ketimbang kondom linen, walaupun kondom rilis terbaru ini dapat dipakai berulang-ulang.
Teknologi terus berkembang. Kondom kini berbahan lateks. Inovasi bukan sekedar dari bahan, tampilannya pun dipermak. Ada kondom berbentuk kaktus, kepala lele, es krim, dll. Pilihan rasa juga dibikin gaya: Rasa coklat, buah-buahan, vanila, dsb.
“Oke deh, tapi kemana yang 15-20%?” ulang Ani yang merasa pertanyaannya belum terjawab dalam acara penyuluhan pendidikan seks usia dini di sekolahnya. Merujuk pada konferensi AIDS di Chiang Mai (Thailand), Pak Penyuluh lalu bercerita bahwa diameter pori-pori kondom adalah 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang. Pori-pori tersebut 10 kali lebih lebar saat kondom meregang. Di kubu lain, virus HIV hanya berdiameter 1/250 mikron. Maka di atas kertas, sang HIV pun dapat leluasa menembus Mr. Condom.
Ani yang kritis pun menyela, “Tapi dengan perkembangan teknologi, saya percaya pasti akan ditemukan kondom yang bisa mencegah HIV/AIDS tanpa cela. Kondom terbaik gitu deh!”
Pak Penyuluh pun tersenyum.
NIAID, Pak Penyuluh, bahkan Ani, sebenarnya sudah tahu bahwa kondom terbaik memang telah ditemukan. Kondom ini bukan terbuat dari lateks, usus hewan, maupun linen. Kondom terbaik terbuat dari kain, denim atau katun. Kondom dengan perlindungan 100% terhadap HIV/AIDS adalah celana kita. Jadi, kalau mau melakukan yang “iya-iya” dengan seseorang yang belum kita nikahi, sebaiknya pastikan kondom terbaik itu tetap terpasang.
No comments:
Post a Comment