May 15, 2009

Nikah Dini Sah dan Ibadah

Perkawinan dini atau nikah di bawah umur yang terjadi akhir - akhir ini telah menyendot perhatian umat Islam. Hanya orang-orang atau kelompok tertentu menjadikan orang yang menjalankan ibadah dianggap kriminal seperti perkawinan Syekh Pudjiono dengan Lutviana Ulfa. Padahal, perkawinan itu sebenarnya sesuai dengan Islam, tetapi karena perempuannya belum berusia 16 tahun dianggap masih dibawah umur atau dianggap masih anak - anak dan perkawinan itu melanggar HAM anak atau kriminal.
Masyarakat kita melihat perkawinan seperti itu adalah hal yang dianggap tabu dan menjijikkan, karena perempuan belum berusia 16 tahun dianggap anak masih bau kencur, belum pantas, melanggar HAM anak dan sebutan negatip lainya. Lantas bagaimana Islam sendiri memandang dalam suatu perkawinan? Berikut ini wawancara dengan Presiden Masyarakat Poligami Indonesia (MAPOLIN) H. Puspo Wardoyo dengan Tabloid Jum'at.

Bagaimana sebenarnya perkwinan menurut Syariat Islam ?
Perkawinan menurut Islam itu sah dan halalan toyyibah apabila perkawinan itu sesuai dengan syariat Islam. Dalam Islam perkawinan dianggap sah atau halalan toyyibah apabila memenuhi beberapa unsur di antaranya laki - laki maupun perempuan sudah layak kawin, akil baligh, sudah teruji, siap mental-materi, saling mencintai, menyayangi, melindungi dan tidak ada tekanan dari pihak manapun.

Perkawinan dalam Islam tidak ditentukan oleh batas usia harus berumur 16 tahun bagi perempuan dan berumur 20 tahun bagi laki - laki baru boleh kawin. Padahal dalam Islam tidak demikian, tetapi perkawinan dalam Islam yang esensi dan subtansial adalah akil baligh, layak kawin siap mental, tidak ditentukan oleh batas usia sepanjang sudah memenuhi persyaratan syariat Islam perkawinan sudah sah dan halalan toyyibah.
Sebagaimana perkawinan Rasulullah saw untuk diteladani oleh umatnya yakni perkawinan Rasulullah dengan Siti Aisyah. Pada saat itu, Siti Aisyah usianya belum genap 16 tahun, tetapi baru berusia 9 tahun. Meski perkawinan Rasulullah itu sudah sah menurut syariat Islam, tetapi Rasulullah belum menggaulinya karena belum akil baligh. Rasulullah baru menggaulinya ketika Siti Aisyah sudah akil baligh (dewasa).
Sebelum Rasulullah menggauli Siti Aisyah, Rasulullah selalu memberikan pembinaan, bimbingan, pendidikan dan perlindungan kepada Siti Aisyah untuk menuju kedewasaan dengan proses yang sangat panjang. Hal itu untuk membangun dan mendidik Siti Aisyah menjadi lebih dewasa baik cara berpikir maupun berperilaku untuk menjadi isteri teladan. Bahkan, dari perkawinan Rasulullah dengan Siti Aisyah, keluarga dari pihak mempelai perempuan Siti Aisyah merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan. Karena tidak diduga - duga mendapatkan seorang menantu laki - laki pilihan sebagai seorang Nabi dan Rasul teladan umat sampai akhir zaman.

Apa yang dapat diambil hikmahnya perkawinan Rasulullah dengan Siti Aisyah ?
Perkawinan Rasulullah adalah sebuah pelajaran bagi umat Islam untuk dijalankan bukan untuk dibicarakan. Perkawinan Rasulullah saw sebagai bukti bahwa umat Islam boleh dan disunnahkan untuk menjalankan. Tetapi dalam konteks perkawinan Islam di Indonesia terbentur oleh undang - undang perkawinan yang mensyaratkan perempuan boleh menikah harus berusia 16 tahun dulu dan secara legal formal Indonesia menganut hukum positip. Perkawinan secara Islam seperti yang dilakukan oleh Syekh Pudjiono dengan Lutviana Ulfa dianggap kriminal, karena melanggar HAM anak. Padahal, dalam konteks perkawinan itu telah memenuhi syarat Islam. Lantas apa yang dilanggar, orang ingin menjalankan agama secara kaffah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan kok dianggap melanggar HAM. Apakah tidak terbalik justru undang - undang perkawinan itu sendiri yang melanggar HAM.

Bagaimana idealnya undang - undang perkawinan di Indonesia ?
Undang - undang perkawinan di Indonesia yang ideal adalah undang - undang perkawinan yang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing - masing. Keberadaan negara hanya mengatur dan memberikan pembinaan kepada masyarakat. Tetapi keberadaan negara tidak boleh mengintervensi agama yang diyakini oleh masyarakat untuk menjalankan agamanya secara kaffah. Bagi orang yang memeluk agama Islam ya undang - undang perkawinan harus merujuk kepada syariat Islam. Oleh sebab itu, Islam memberikan tuntunan, pedoman dan rujukan kepada kita umat Islam untuk menyakini dan mengamalkan Islam secara kaffah. Pola pikir dan perilaku Rasulullah saw bukan sekadar dibicarakan tetapi bagaimana umat Islam dapat menjalankan sifat - sifat teladan Rasulullah termasuk perkawinan Rasulullah. Itulah setidaknya rujukan undang - undang perkawinan bagi umat Islam yakni harus dan tetap merujuk kepada syariat Islam.

Apa yang mendorong bapak giat berjuang berdakwah masalah perkawinan di Indonesia?
Masalah perkawinan adalah masalah yang sangat urgen dan menentukan. Banyak para dai, ustadz atau para kyai dalam masalah perkawinan terutama undang -undang perkawinan di Indonesia belum optimal. Padahal, memperjuangkan undang - undang perkawinan umat Islam sesuai dengan syariat Islam merupakan tanggung jawab dan tugas umat Islam. Sebagai contoh mestinya ketika perkawinan Syekh Pudjiono yang dilakukan secara Islam dibawa oleh kelompok tertentu ke masalah kriminal karena melanggar HAN anak. Seharusnya umat Islam termasuk para uastadz, para dai dan para kyai protes keras kepada pemerintah untuk mendorong perkawinan umat Islam dilakukan sesuai dengan syariat Islam. Tetapi apa yang terjadi, hanya segelintir orang yang berani untuk membela mendukung dan memperjuangkan pernikahan Islam yang dilakukan Syekh Pudjiono untuk tetap pada jalurnya (Syariat Islam) tanpa intervensi oleh pihak manapun baik pemerintah maupun kelompok tertentu.

Apa yang mendorong bapak Mendirikan Masyarakat Poligami Indonesia (MAPOLIN) di Indonesia ?
MAPOLIN adalah sebuah wadah atau sarana dakwah dan perjuangan umat Islam pelaku poligami di Indonesia. Pelaku pologami di Indonesia termasuk nikah dini dianggap hal yang tabu, menjijikkan bahkan dianggap perilaku kriminal. Padahal, Islam sendiri nikah adalah menjalankan agama merupakan ibadah. Tetapi tidak dapat dipungkiri ketika umat Islam menjalankan agama Islam seperti poligami atau nikah dini terbentur oleh undang - undang. Oleh sebab itu, berdirinya MAPOLIN adalah dalam rangka memperjuangkan undang - undang perkawinan umat Islam tetap merujuk kepada syariat Islam. karena selama ini, umat Islam telah dikebiri oleh undang - undang perkawinan yang mendasarkan hukum positip buatan manusia. Padahal, undang - undang perkawinan Islam yang tertinggi adalah undang - undang yang sesuai syariat Islam bukan buatan manusia.

Merebaknya kasus pernikahan di bawah umur yang dilakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto (43 tahun) terhadap Lutfiana Ulfa (12 tahun) di Kabupaten Semarang, telah menuai berbagai respon. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan bahwa Pujiono melanggar beberapa lapis pasal dalam Undang Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak.


Konferensi pers siang itu dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Muhammad Nuh, mengundang beberapa pihak yang berwenang. Turut hadir sebagai pembicara, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Meutia Hatta, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Masnah Sari, dan jajaran dari Majelis Ulama Indonesia yang diwakili oleh Komisi Komunikasi dan Informasi MUI, Said Budairy.

Meneg Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta menyatakan secara langsung, “Pujiono telah melanggar beberapa lapis Undang-Undang.”

Menikahi anak di bawah umur telah melanggar Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa usia minimal pengantin perempuan adslah 16 tahun. Jika ada peranan eksploitasi yang dilakukan oleh orangtuanya dan Pujiono maka ini berkaitan dengan perdagangan orang dan melanggar UU Ketenagakerjaan. Menurutnya, pernikahan dini yang dilakukan terhadap Ulfah, juga mengundang resiko yang lebih besar. Secara biologis, tubuhnya yang belum genap berusia 12 tahun itu juga diyatakan belum siap menjadi seorang istri yang nantinya disetubuhi dan melahirkan anak.

“Menikah secara dini, juga beresiko akan berakhir dalam waktu yang singkat. Masih kecil tapi sudah menjadi janda, lalu nanti akan menikah lagi dengan orang lain. Resiko berganti-ganti pasangan dan melahirkan dalam jarak waktu yang dekat juga akan mengundang resiko terserang kanker. Ini melanggar hak kesehatan reproduksinya sebagai perempuan,” tambahnya.

Ia juga berharap, kejadian ini tidak terulang lagi dikemudian hari. “Harus ada efek jera yang ditimpakan terhadap orang-orang seperti Pujiono,” tegasnya.

Dari sudut pandang perlindungan hak anak, KPAI melalui Masnah Sari juga menyatakan sikap bahwa KPAI menentang dengan tegas kasus pernikahan dini seperti yang dilakukan oleh Pujiono terhadap Ulfa.

“Kami dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, menyatakan sikap bahwa setiap anak Indonesia wajib dilindungi haknya, meliputi hak tumbuh berkembang, hak bermain, hak sipil dan kebebasan, hak pengasuhan dan perawatan, hak partisipasi, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan khusus. Mereka berhak dilindungi oleh orangtua, lembaga negara, pemerintahan, dan masyrakat,” tegas Masnah Sari, Ketua KPAI.

Menurutnya, terjadinya kasus pernikahan dini juga telah melanggar beberapa Undang-Undang. Terutama UU. No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lebih rinci, pada pasal 26 c dinyatakan bahwa semua orangtua wajib melindungi anak dari perkawinan dini. Disamping itu, pemerintah juga telah mengatur bahwa anak-anak Indonesia mempunyai hak untuk memperoleh layanan wajib belajar 9 tahun. Atas semua ini, Pujiono Cahyo Widianto terancam tuntutan dari pasal berlapis.

Majelis Ulama Indonesia, lewat Komisi Komunikasi dan Informasi MUI, Said Budairy juga menyatakan sikap bahwa pernikahan itu telah melanggar beberapa fatwa MUI yang telah dikeluarkan berkaitan dengan UU. No.1 Tahun 1974 dan tidak mengakui status pernikahan “dibawah tangan” atau pernikahan Siri karena tidak tercatat pada lembaga negara.

“Rumah tangga bagaikan markas kehidupan manusia. Jika ada ketidaksetaraan seperti yang terjadi pada Pujiono dan Ulfa, maka rumah tangga ini dianggap tidak maslahat. Kasus yang terjadi, perkawinan orang dengan anak-anak di bawah umur. Ini adalah perkawinan yang tidak setara,” ujar Said Budairy dengan lugas.

Terakhir, Menkominfo, Muhammad Nuh menyimpulkan, “Pernikahan bisa dilihat dari perspektif budaya, agama, dan hukum. Dan tidak boleh ada yang saling melanggar.” IndofamilyNet. (ayu)


TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR KARENA HAMIL SEBELUM NIKAH (Studi Kasus di Kabupaten Sragen)

Farida, Novi (2008) TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR KARENA HAMIL SEBELUM NIKAH (Studi Kasus di Kabupaten Sragen). Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Bagaimana pelaksanaan perkawinan dibawah umur karena hamil sebelum nikah di Kabupaten Sragen, 2) Bagaimana status hukum bagi perkawinan di bawah umur karena hamil sebelum nikah di Kabupaten Sragen, 3) Bagaimana akibat sosial dari perkawinan dibawah umur karena hamil sebelum nikah terhadap masyarakat di Kabupaten Sragen. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, yaitu suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan. Maksudnya hukum yang dibuat oleh para ilmu hukum dipergunakan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat atau hukum tersebut diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek dan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak6. Dalam hal ini untuk menggambarkan pelaksanaan perkawinan dibawah umur yang disebabkan karena hamil sebelum nikah. Data yang digunakan adalah a) Data Primer Data ini merupakan sejumlah keterangan-keterangan dan fakta yang langsung diperoleh dari lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang dipandang mengatahui obyek yang diteliti dan b) Data sekunder Data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka, berupa peraturan perundangundangan, buku literatur, dokumen-dokumen resmi, Al-Qur’an, Al-Hadist yang berhubungan dengan obyek yang akan diteliti. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah a) Studi Kepustakaan Yaitu pengumpulan data dengan jalan mempelajari data tertulis dari literatur dan peraturan perundang-undangan, serta buku-buku yang ada kaitannya secara langsung maupun tidak langsung dengan obyek yang diteliti, dimaksudkan untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat atau penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan dan b) Wawancara yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara langsung guna mendapatkan data-data yang diperlukan dengan responden yaitu Pegawai Pengadilan Agama Kabupaten Sragen dan juga masyarakat pada umumnya. Hasil dari penelitian ini adalah: 1. Faktor yang menyebabkan Pengadilan Agama Kabupaten Sragen dalam memberikan dispensasi perkawinan terhadap perkara perdata Islam mengenai permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur harena hamil pada: a. Untuk menghindari terjadinya perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan peraturan hukum yang berlaku dan demi kehidupan kemaslahatan, b. Agar terhindar dari kerusakan-kerusakan dalam menjalankan norma agama Islam sesuai dengan kaidah fiqh. 2. Dengan adanya pemberian dispensasi perkawinan di bawah umur karena hamil oleh Pengadilan Agama Kabupaten Sragen dalam perkara permohonan dispensasi perkawinan dibawah umur yang dilakukan oleh Kambali bin Karyo akan dapat membantu tercapainya tujuan perkawinan dari kedua calon mempelai yaitu saudari Sukamti bin Kambali dengan saudara Dwi Purwoko sudah mampu untuk membentuk keluarga yang bahagia. Hal ini terbukti dengan keluarga dari pasangan saudari Sukamti bin Kambali dan Dwi Purwoko untuk saat ini telah mampu untuk hidup mandiri dan sedikit dapat membantu meringankan beban orang tua mereka. 3. Faktor yang utama yang dapat menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur adalah karena hamil dan pergaulan yang semakin bebas dan semakin tak terbatas yang akhirnya akan dapat membawa generasi muda dalam sek bebas (free sex) yang dilakukan sebelum menikah 4. Dalam permohonan dispensasi perkawinan sebagai syarat yang paling utama harus terdapat surat penolakan menikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) daerah setempat. 5. Dengan adanya pemberian dispensasi perkawinan di bawah umur oleh Pengadilan Agama Kabupaten Sragen terhadap permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur yang dilakukan oleh Bapak Kambali bin Karyo dapat membantu dalam proses terbentuknya kemaslahatan keluarga.

Pernikahan di Bawah Umur: Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum

December 5, 2008 in Opini

Oleh: Heru Susetyo *)
[28/11/08]Masalah pernikahan di bawah umur di Indonesia mendadak mengemuka akhir-akhir ini. Utamanya setelah heboh pernikahan Pujiono Cahyo Widianto alias Syeikh Puji dengan Luthfiana Ulfa, seorang gadis yang ditengarai masih berusia di bawah umur (12 tahun dan versi lain 15 tahun).

Padahal, perkara nikah di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktek ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak di pedalaman. Sebabnya-pun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, karena hamil terlebih dahulu (kecelakaan atau populer dengan istilah married by accident), dan lain-lain.

Selain menimbulkan masalah sosial, nikah di bawah umur bisa menimbulkan masalah hukum. Pernikahan Syekh Puji dan Ulfa membuka ruang kontroversi bahwa perkara nikah di bawah umur ternyata disikapi secara berbeda oleh hukum adat, hukum Islam, serta hukum nasional dan hukum internasional. Kenyataan ini melahirkan, minimal, dua masalah hukum. Pertama, harmoninasi hukum antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum lain. Kedua, tantangan terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di bawah umur.

Hukum Perkawinan

Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita (vide pasal 7 ayat 2). Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan izin dari orangua diharuskan bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun.

Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang disebarluaskan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 memuat perihal yang kurang lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, namun dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.

Maka, secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang berkompeten.

Namun demikian perkawinan di bawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai, suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide pasal 62, 63, dan 64 KHI)

KHI juga menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan antara lain bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 (vide pasal 71). Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: (1) para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri; (2) suami atau isteri; (3) pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang; (4) para pihak berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangan-undangan (vide pasal 73).

Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah. Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa: Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Sama halnya dengan hukum adat. Hukum adat Indonesia, yang berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lain, adalah hukum kebiasaan tak tertulis yang tak mengenal pembakuan umur seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya seorang anak dinikahkan ketika ia dianggap telah mencapai fase atau peristiwa tertentu dalam kehidupannya. Dan ini seringkali tidak terkait dengan umur tertentu.

Instrumen HAM

Instrumen Hak Asasi Manusia — apakah yang bersifat internasional (international human rights law) ataupun yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah RI — tidak menyebutkan secara eksplisit tentang batas usia perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990 yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Juga setiap negara peserta konvensi diwajibkan melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).

Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan Pernikahan (Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages) 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini akan mengupayakan lahirnya legislasi untuk mengatur permasalahan umur minimum untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang dilakukan di luar umur minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum, terkecuali otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan yang wajar dengan mengedepankan kepentingan pasangan yang akan menikah.

Indonesia belum menjadi negara pihak dari Konvensi 1964 tersebut, namun telah menetapkan usia minimum pernikahan melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, alias sepuluh tahun setelah Konvensi tersebut lahir.

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak –sebagai instrumen HAM — juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Disebutkan pula, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: a. non diskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (vide pasal 3).

Terkait pernikahan di bawah umur, pasal 26 (1) huruf (c ) UU Perlindungan Anak 2002 menyebutkan bahwa: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : (c ) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Kriminalisasi Nikah di Bawah Umur

Merujuk pada hukum perkawinan Islam Indonesia, sudah nyata bahwa perkawinan di Indonesia harus memenuhi ketentuan batas usia minimum. Yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Kendati demikian, pelanggaran terhadapnya tidak serta merta dapat ditindak. Begitu banyak terjadi perkawinan di bawah umur, dan tak pernah ataupun minim terdengar ada kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut, kendati pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, Jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Perkawinan adalah masalah perdata. Kalaupun terjadi tindak pidana dalam perkawinan seperti disebut pasal 288 KUHP, seringkali penyelesaiannya secara perdata atau tidak diselesaikan sama sekali. Sebab, terkait dengan rahasia ataupun kehormatan rumah tangga. Seringkali pihak istri atau keluarganya tidak melaporkan kekerasan tersebut entah karena alasan takut, aib keluarga, atau kesulitan dalam menghadirkan alat bukti.

Langkah paling maju yang dapat dilakukan untuk menekan laju pernikahan di bawah umur adalah dengan mencegah atau membatalkan perkawinan jenis tersebut. Namun sekali lagi, perlu ada keberatan dari salah satu mempelai, keluarga, ataupun pejabat pengawas perkawinan. Apabila pasangan mempelai dan juga keluarga tak keberatan maka tindakan yang paling mungkin dilakukan adalah tidak mencatatkan pernikahannya di hadapan Kantor Pencatat Nikah (KUA atau Kantor Catatan Sipil). Otomatis pernikahan yang tidak tercatat di lembaga pencatat nikah adalah pernikahan yang tidak berkekuatan hukum, kendati barangkali dapat disebut sah menurut keyakinan agama masing-masing pasangan.

Pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas dalam masalah ini. Disebutkan bahwa pegawai pencatat pernikahan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum pernikahan.

Namun perkawinan yang tak dicatatkan juga bukan tanpa resiko. Yang mengalami kerugian utama adalah pihak istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Karena, apabila ia tak memiliki dokumen pernikahannya, seperti surat nikah, maka ia akan kesulitan mengklaim hak-haknya selaku istri terkait dengan masalah perceraian, kewarisan, tunjangan keluarga, dan lain-lain.

Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum Perkawinan

Pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa seperti menampar wajah pembuat hukum dan aparat hukum negeri ini. Karena kasus ini sebenarnya bukan yang pertama dan bukan juga yang terakhir. Kasus ini hanyalah satu kasus yang mengemuka dari ribuan kasus lainnya yang mengendap di bawah permukaan laksana gunung es.

Praktik nikah di bawah umur juga mengisyaratkan bahwa hukum perkawinan Indonesia nyaris seperti hukum yang ‘tak bergigi’, karena begitu banyak terjadi pelanggaran terhadapnya tanpa dapat ditegakkan secara hukum.

Tidak hanya masalah nikah di bawah umur. Pelanggaran terhadap hukum perkawinan juga terjadi pada kasus pernikahan poligami, pernikahan di bawah tangan, perceraian di bawah tangan, pelanggaran hak-hak mantan isteri, mantan suami ataupun anak-anak dalam perceraian, dan lain-lain.

Begitu banyak terjadi pernikahan poligami yang dilakukan tanpa izin pengadilan agama dan tanpa memenuhi syarat-syarat alternatif dan kumulatif seperti yang ditetapkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Begitu banyak terjadi perceraian yang terjadi di luar pengadilan (perceraian di bawah tangan). Begitu banyak hak-hak mantan isteri dan anak-anak yang diabaikan ketika terjadi perceraian. Dan begitu banyak pula terjadi perkawinan yang berlangsung tanpa tercatat di kantor pencatat nikah (apakah Kantor Urusan Agama ataupun Kantor Catatan Sipil) alias lazim disebut perkawinan di bawah tangan.

Memang, urusan perkawinan adalah urusan keperdataan. Urusan pribadi warganegara. Hal mana membuat banyak pihak mempertanyakan, kenapa masalah perkawinan harus diatur oleh negara, bukankah perkawinan berada dalam ranah privat? Mengapa pernikahan Syekh Puji dan Ulfa harus dipersoalkan, bukankah kedua mempelai dan keluarganya tak keberatan?

Urusan perkawinan memang berada dalam wilayah keperdataan. Namun peristiwa tersebut adalah peristiwa hukum yang jelas menimbulkan sebab akibat dan hak-hak kewajiban para pihak. Maka, pengaturan dari negara tetap perlu. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sudah mencoba mengatur dengan meng-unifikasi hukum perkawinan. Hukum agama dan hukum adat diakomodasi dalam UU tersebut, disamping hukum perdata Barat. Dan sungguh ini bukan perkara yang gampang, karena selamanya unifikasi di wilayah hukum pribadi dan hukum keluarga adalah sesuatu yang sulit. Indonesia adalah negara yang kaya dengan pluralitas hukum dan pluralitas sosial budaya.

Apabila perkawinan tidak diatur oleh negara akan berpotensi lahirnya ketidakadilan bagi pihak-pihak tertentu, utamanya bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan. Dan akhirnya akan merembet pada keluarga luas, lingkungan, masyarakat, hingga akhirnya menjadi problem negara juga. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 lahir antara lain karena maraknya fenomena kekerasan dalam perkawinan.

Namun apabila negara mengatur terlalu banyak, dapat juga berpotensi pemaksaan hukum dan sentralisasi hukum negara. Perlu ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan, mana masalah perkawinanan yang perlu diatur hukum negara dan mana yang tidak. Untuk tidak mencederai hak-hak sipil warganegara dalam wilayah perkawinan yang tak perlu dikelola oleh negara.

Dan inilah tantangan untuk hukum perkawinan kontemporer. Mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengkritisi dan melahirkan legislasi di wilayah hukum perkawinan yang menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak dan pada saat bersamaan tetap melahirkan keadilan? Kemudian, mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengharmoniskan perbedaan klausul di berbagai sistem hukum perkawinan terkait dengan masalah-masalah perkawinan kontemporer?

Merevisi UU No. 1 Tahun 1974 adalah satu alternatif dan tidaklah terlalu ambisius. Namun juga bukan satu-satunya cara. Perlu dipikirkan harmonisasi dan lahirnya legislasi yang dapat mengakomodasi semua sistem hukum yang hidup tanpa harus mencederai hak-hak sipil masyarakat dalam wilayah hukum perkawinan. Wallahu a`lam.
——

*) Penulis adalah Mahasiswa PhD bidang Human Rights & Peace Studies Mahidol University- Thailand/ Staf Pengajar Fakultas Hukum UI-Depok

No comments:

Post a Comment