Oleh Anton Kurnia
Bertahun-tahun kemudian, berpuluh tahun kemudian, seorang pengembara tua berjumpa dengan seorang gadis belia.
Di senja yang gerimis itu angin berembus perlahan. Genangan air bekas hujan terserak basah. Ada bangku tembok di bawah rerimbunan pohon bunga bougenville, mereka duduk berdampingan. Daun-daun bougenville bergetar perlahan disentuh angin senja, bergoyang lembut, seakan-akan sedang menari.
”Ceritakanlah padaku tentang cinta.”
”Cinta?”
”Ya. Ceritakanlah padaku tentang kesetiaan.”
”Kesetiaan?”
”Ya. Ceritakanlah padaku tentang sebuah kenangan.”
Dan pengembara tua itu pun mulai bercerita…
* * *
Pada suatu malam yang sepi, di suatu masa, seorang petualang terjerembab di sebuah gedung kayu yang sunyi, seperti seekor kelelawar yang patah sayapnya. Hanya ada bekas-bekas kehidupan di situ. Di luar, suara binatang malam sesekali terdengar bagaikan sebuah simfoni. Ia terbaring sendirian. Letih, usai bertahun-tahun bertarung melawan dirinya sendiri. Bajunya tampak lusuh, begitu pun dengan celana jins-nya. Tampaknya sudah lama tak tersentuh air.
Asap rokok melayang-layang dari sela-sela jemarinya yang kurus. Lirih terdengar sebuah lagu di kejauhan. Where do I begin to tell the story of how great the love can be… Suara Nana Mouskouri yang sendu.
Setiap kali lelaki itu merokok, ia terkenang pada sebuah dongeng masa kecil. Kisah seorang gadis kecil penjual korek api. Tak seorang pun rela membeli korek apinya di malam Natal yang sendiri itu. Larut malam dalam lapar dan dingin ia nyalakan korek apinya satu per satu demi sedikit kehangatan.
Setiap kali ia menyalakan sebatang korek api, dialaminya mimpi yang indah: tentang ibunya tercinta yang telah lama pergi, tentang boneka–boneka kecil yang bisa bernyanyi, tentang peri-peri kecil yang lucu, tentang pohon Natal yang terang benderang… Setelah korek api terakhir habis disulut, ia pun mati kedinginan. Meringkuk beku. Sendirian. Petualang itu menikmati mimpi yang sama lewat asap rokoknya. Bermimpi adalah keasyikan hidupnya, sejak bertahun-tahun silam.
Petualang itu kini sedang hanyut menikmati lamunannya… Malam makin kelam. Di langit, rembulan tertutup awan. Nyanyian burung malam bergema di kejauhan.
Petualang yang sendiri itu memandang bara berasap di ujung sigaretnya. Tiba-tiba seraut wajah dari masa silam menyusup dalam bayang-bayang baur. Seraut wajah ayu yang pernah begitu lekat dalam hidupnya.
”Apa yang kau cari? Tak lelahkah kau bertualang?”
Sepasang mata bening menatap penuh kasih. Ada kehangatan di sana.
”Hai, kaukah itu? Bianglala Biru-ku? Bidadari kecilku?”
Secercah cahaya terbit sekejap dalam sepasang bola cokelat yang tadi redup.
”Tahukah kau, bertahun-tahun aku menantikan saat seperti ini. Pertemuan berdua saja denganmu. Dan kita bisa bercakap-cakap dari hati ke hati. Tentang kau. Tentang aku. Tentang kita. Tentang masa lalu. Aku tak terlalu serakah untuk mengajakmu berbicara tentang masa depan. Masa depanmu adalah milikmu. Mencintai dan memiliki adalah dua hal yang berbeda, dari akar yang berbeda pula. Kalau aku tak boleh mendapatkan keduanya, biarlah aku memilih yang pertama…”
Bibir indah itu tersenyum lembut. Jemarinya yang halus membelai wajah lelah itu perlahan-lahan. Dia telah menjadi seorang lelaki sekarang.
”Berhentilah bermimpi. Kau tahu, hidup tak akan surut ke belakang. Ia terus mengalir mengarungi kemungkinan-kemungkinan.”
Suara burung malam terdengar menyayat hati.
”Ah… tahukah kau, bertahun-tahun aku masih menyimpan gambarmu, gambar kita. Tak seorang pun kubiarkan menyentuhnya.”
Seekor tikus menyelinap cepat-cepat ke sebuah sudut.
”Aku tak akan pernah lupa saat pertama kita jumpa. Aku duduk di bangku kayu, kau duduk di bangku sebelahku. Mata kita bersitatap. Aku takjub dan kau tersenyum. Ada ibu guru di depan kita.”
”Itu sudah tujuh belas tahun berlalu. Waktu itu membaca aksara saja kita belum lancar, apalagi membaca hidup.”
”Masih ingatkah kau saat kita menunggu hujan di depan gerbang sekolah? Percakapan mata, gerimis yang tak mau reda, hanya ada kita berdua. Menunggu ibu masing-masing membawa kita pulang.”
Bibir indah itu tersenyum lagi.
”Tapi kenyataan membuat kita terpisah. Mereka membawaku jauh ke Timur. Dan aku hanya menjumpaimu dalam mimpi-mimpi malam, bertahun-tahun yang melelahkan. Suatu hari aku datang kembali ke kotamu dengan sekujur tubuh terluka. Sampai tiba malam itu. Kau datang padaku dalam selubung putih bertudung renda. Wajahmu begitu indah. Kita hanya berpandangan tanpa kata. Kucoba merenangi bola matamu, tapi tak ada jawab di sana. Tiba-tiba kau lenyap. Hilang. Aku terjaga di malam buta dengan dada sesak dan sekujur tubuh berpeluh. Esoknya seorang kawan memberi kabar tentang hari pastimu. Aku terlambat, kau tak lagi sendiri…”
Sepasang mata memandang sayu. Ada bening kaca di situ.
”Maafkan aku. Hidup tak pernah bisa direncanakan. Hidup sering kali begitu tiba-tiba. Lama tak kudengar kabarmu, lenyap bagai ditelan bumi…”
Asap rokok itu masih menari-nari.
”Tak perlu menyesali yang telah terjadi. Hidup bukan untuk dikalkulasi. Hidup ini buat dijalani… Ah, cepat sekali waktu berlalu, dan hidup terus mengalir seperti sungai tanpa kita tahu di mana akan bermuara. Terkadang sungai itu begitu luas dan tenang seperti Amazon. Tapi ada kalanya berliku-liku bagai sebuah meander. Tanpa kita sadari yang tertinggal hanyalah sedimen di dasar sungai. Atau malah tak menyisakan apa-apa. Bahkan sekedar kenangan pun. Kita memang tak mungkin mendapatkan semua yang kita inginkan dari kehidupan, bukan? Jadi, jika kita tak memiliki apa yang kita sukai, apa salahnya menyukai apa yang kita miliki?”
Nyanyian burung malam memecah kesunyian.
”Sejak itu, bertahun-tahun kucoba mengarungi kemungkinan-kemungkinan. Aku bertualang ke pulau-pulau sepi, bermain-main dengan mawar berduri. Beberapa kupetik dan coba kubawa pulang. Tapi pada akhirnya aku selalu gagal. Aku terlalu naif untuk sebuah dunia yang penuh kebohongan. Hanya kau yang membuatku damai. Kini aku sendirian. Sebatang ilalang liar di tengah padang gersang…”
Sepasang mata bening di raut ayu itu meneteskan butir-butir kristal.
”Berhentilah bermimpi. Berhentilah bertualang. Cobalah hidupi hidup seperti mereka yang lain…”
Petualang itu hanya tertawa. Bukan tawa bahagia, tapi tawa menahan luka. Dengan suara parau ia mengeja sebait sajak seorang penyair jalang: hidup hanya menunda kekalahan, tambah terasing dari cinta sekolah rendah, dan tahu ada yang tetap tak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah… Sigaret di tangannya berhenti berasap. Perlahan-lahan bayang-bayang memudar. Lenyap bersama angin malam.
* * *
Senja telah lama merapuh, berganti dingin malam. Di puncak pepohonan, rembulan hampir purnama. Sisa hujan telah lama berhenti menitik.
Di bawah rerimbunan bunga bougenville, pengembara tua berhenti bercerita. Matanya menyimpan sebuah rahasia. Dengan hati-hati diambilnya sebuah biola yang sedari tadi tergeletak di sampingnya. Ia mulai memainkan sebuah komposisi. Sebuah sonata yang sedih, mengalun, mengiris, menggoda kesunyian malam.
”Sudah selesai ceritanya, Kek?” tanya gadis belia yang tekun mendengarkan kisahnya sejak tadi.
Pengembara tua itu tak menjawab. Kilau matanya seakan-akan menyimpan sebuah rahasia. Ia terhanyut dalam sebuah sonata yang sedih. Mengalun, mengiris, menggoda kesunyian malam…
Bertahun-tahun kemudian, berpuluh tahun kemudian, seorang pengembara tua berjumpa dengan seorang gadis belia.
Di senja yang gerimis itu angin berembus perlahan. Genangan air bekas hujan terserak basah. Ada bangku tembok di bawah rerimbunan pohon bunga bougenville, mereka duduk berdampingan. Daun-daun bougenville bergetar perlahan disentuh angin senja, bergoyang lembut, seakan-akan sedang menari.
”Ceritakanlah padaku tentang cinta.”
”Cinta?”
”Ya. Ceritakanlah padaku tentang kesetiaan.”
”Kesetiaan?”
”Ya. Ceritakanlah padaku tentang sebuah kenangan.”
Dan pengembara tua itu pun mulai bercerita…
* * *
Pada suatu malam yang sepi, di suatu masa, seorang petualang terjerembab di sebuah gedung kayu yang sunyi, seperti seekor kelelawar yang patah sayapnya. Hanya ada bekas-bekas kehidupan di situ. Di luar, suara binatang malam sesekali terdengar bagaikan sebuah simfoni. Ia terbaring sendirian. Letih, usai bertahun-tahun bertarung melawan dirinya sendiri. Bajunya tampak lusuh, begitu pun dengan celana jins-nya. Tampaknya sudah lama tak tersentuh air.
Asap rokok melayang-layang dari sela-sela jemarinya yang kurus. Lirih terdengar sebuah lagu di kejauhan. Where do I begin to tell the story of how great the love can be… Suara Nana Mouskouri yang sendu.
Setiap kali lelaki itu merokok, ia terkenang pada sebuah dongeng masa kecil. Kisah seorang gadis kecil penjual korek api. Tak seorang pun rela membeli korek apinya di malam Natal yang sendiri itu. Larut malam dalam lapar dan dingin ia nyalakan korek apinya satu per satu demi sedikit kehangatan.
Setiap kali ia menyalakan sebatang korek api, dialaminya mimpi yang indah: tentang ibunya tercinta yang telah lama pergi, tentang boneka–boneka kecil yang bisa bernyanyi, tentang peri-peri kecil yang lucu, tentang pohon Natal yang terang benderang… Setelah korek api terakhir habis disulut, ia pun mati kedinginan. Meringkuk beku. Sendirian. Petualang itu menikmati mimpi yang sama lewat asap rokoknya. Bermimpi adalah keasyikan hidupnya, sejak bertahun-tahun silam.
Petualang itu kini sedang hanyut menikmati lamunannya… Malam makin kelam. Di langit, rembulan tertutup awan. Nyanyian burung malam bergema di kejauhan.
Petualang yang sendiri itu memandang bara berasap di ujung sigaretnya. Tiba-tiba seraut wajah dari masa silam menyusup dalam bayang-bayang baur. Seraut wajah ayu yang pernah begitu lekat dalam hidupnya.
”Apa yang kau cari? Tak lelahkah kau bertualang?”
Sepasang mata bening menatap penuh kasih. Ada kehangatan di sana.
”Hai, kaukah itu? Bianglala Biru-ku? Bidadari kecilku?”
Secercah cahaya terbit sekejap dalam sepasang bola cokelat yang tadi redup.
”Tahukah kau, bertahun-tahun aku menantikan saat seperti ini. Pertemuan berdua saja denganmu. Dan kita bisa bercakap-cakap dari hati ke hati. Tentang kau. Tentang aku. Tentang kita. Tentang masa lalu. Aku tak terlalu serakah untuk mengajakmu berbicara tentang masa depan. Masa depanmu adalah milikmu. Mencintai dan memiliki adalah dua hal yang berbeda, dari akar yang berbeda pula. Kalau aku tak boleh mendapatkan keduanya, biarlah aku memilih yang pertama…”
Bibir indah itu tersenyum lembut. Jemarinya yang halus membelai wajah lelah itu perlahan-lahan. Dia telah menjadi seorang lelaki sekarang.
”Berhentilah bermimpi. Kau tahu, hidup tak akan surut ke belakang. Ia terus mengalir mengarungi kemungkinan-kemungkinan.”
Suara burung malam terdengar menyayat hati.
”Ah… tahukah kau, bertahun-tahun aku masih menyimpan gambarmu, gambar kita. Tak seorang pun kubiarkan menyentuhnya.”
Seekor tikus menyelinap cepat-cepat ke sebuah sudut.
”Aku tak akan pernah lupa saat pertama kita jumpa. Aku duduk di bangku kayu, kau duduk di bangku sebelahku. Mata kita bersitatap. Aku takjub dan kau tersenyum. Ada ibu guru di depan kita.”
”Itu sudah tujuh belas tahun berlalu. Waktu itu membaca aksara saja kita belum lancar, apalagi membaca hidup.”
”Masih ingatkah kau saat kita menunggu hujan di depan gerbang sekolah? Percakapan mata, gerimis yang tak mau reda, hanya ada kita berdua. Menunggu ibu masing-masing membawa kita pulang.”
Bibir indah itu tersenyum lagi.
”Tapi kenyataan membuat kita terpisah. Mereka membawaku jauh ke Timur. Dan aku hanya menjumpaimu dalam mimpi-mimpi malam, bertahun-tahun yang melelahkan. Suatu hari aku datang kembali ke kotamu dengan sekujur tubuh terluka. Sampai tiba malam itu. Kau datang padaku dalam selubung putih bertudung renda. Wajahmu begitu indah. Kita hanya berpandangan tanpa kata. Kucoba merenangi bola matamu, tapi tak ada jawab di sana. Tiba-tiba kau lenyap. Hilang. Aku terjaga di malam buta dengan dada sesak dan sekujur tubuh berpeluh. Esoknya seorang kawan memberi kabar tentang hari pastimu. Aku terlambat, kau tak lagi sendiri…”
Sepasang mata memandang sayu. Ada bening kaca di situ.
”Maafkan aku. Hidup tak pernah bisa direncanakan. Hidup sering kali begitu tiba-tiba. Lama tak kudengar kabarmu, lenyap bagai ditelan bumi…”
Asap rokok itu masih menari-nari.
”Tak perlu menyesali yang telah terjadi. Hidup bukan untuk dikalkulasi. Hidup ini buat dijalani… Ah, cepat sekali waktu berlalu, dan hidup terus mengalir seperti sungai tanpa kita tahu di mana akan bermuara. Terkadang sungai itu begitu luas dan tenang seperti Amazon. Tapi ada kalanya berliku-liku bagai sebuah meander. Tanpa kita sadari yang tertinggal hanyalah sedimen di dasar sungai. Atau malah tak menyisakan apa-apa. Bahkan sekedar kenangan pun. Kita memang tak mungkin mendapatkan semua yang kita inginkan dari kehidupan, bukan? Jadi, jika kita tak memiliki apa yang kita sukai, apa salahnya menyukai apa yang kita miliki?”
Nyanyian burung malam memecah kesunyian.
”Sejak itu, bertahun-tahun kucoba mengarungi kemungkinan-kemungkinan. Aku bertualang ke pulau-pulau sepi, bermain-main dengan mawar berduri. Beberapa kupetik dan coba kubawa pulang. Tapi pada akhirnya aku selalu gagal. Aku terlalu naif untuk sebuah dunia yang penuh kebohongan. Hanya kau yang membuatku damai. Kini aku sendirian. Sebatang ilalang liar di tengah padang gersang…”
Sepasang mata bening di raut ayu itu meneteskan butir-butir kristal.
”Berhentilah bermimpi. Berhentilah bertualang. Cobalah hidupi hidup seperti mereka yang lain…”
Petualang itu hanya tertawa. Bukan tawa bahagia, tapi tawa menahan luka. Dengan suara parau ia mengeja sebait sajak seorang penyair jalang: hidup hanya menunda kekalahan, tambah terasing dari cinta sekolah rendah, dan tahu ada yang tetap tak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah… Sigaret di tangannya berhenti berasap. Perlahan-lahan bayang-bayang memudar. Lenyap bersama angin malam.
* * *
Senja telah lama merapuh, berganti dingin malam. Di puncak pepohonan, rembulan hampir purnama. Sisa hujan telah lama berhenti menitik.
Di bawah rerimbunan bunga bougenville, pengembara tua berhenti bercerita. Matanya menyimpan sebuah rahasia. Dengan hati-hati diambilnya sebuah biola yang sedari tadi tergeletak di sampingnya. Ia mulai memainkan sebuah komposisi. Sebuah sonata yang sedih, mengalun, mengiris, menggoda kesunyian malam.
”Sudah selesai ceritanya, Kek?” tanya gadis belia yang tekun mendengarkan kisahnya sejak tadi.
Pengembara tua itu tak menjawab. Kilau matanya seakan-akan menyimpan sebuah rahasia. Ia terhanyut dalam sebuah sonata yang sedih. Mengalun, mengiris, menggoda kesunyian malam…
No comments:
Post a Comment